Jumat, 13 April 2012

Pendidikan Karakter Dalam Masyarakat Hipokrit


Pendidikan Karakter Di Tengah Masyarakat Hipokrit[1]

a. Pengantar
Perlahan bangsa ini kehilangan jadi diri, kemudian  menjemput ajalnya sendiri. Sebagai bangsa besar yang dikenal ramah tamah, menghargai perbedaan, suka bergotong royong  semua itu hanya sanjung puja yang kelewat narsistis ketimbang realitasnya. Tawur antar kampung  di tengah khusuknya perhelatan ritual lebaran, tawur antar pelajar, kerusuhan massal karena kalah dalam Pilkada, pembakaran berbagai tempat ibadah kelompok minoritas dan masih sederet panjang fakta yang bisa dibentang di sini jelas menunjukkan bahwa jati diri sebagai bangsa yang ramah dan menghargai pruralisme telah hilang. Hari ini kita telah kehilangan karakter yang menjadi pondasi kuat kehidupan berbangsa dan bernegara bahkan kita nyaris kehilangan karakter untuk bisa mencintai kehidupan!
Tanda-tanda kehancuran ini sudah sangat jelas. Mengacu pada pendapat Thomas Lickona[i] (1992), mengungkapkan bahwa ada sepuluh tanda-tanda jaman yang harus diwaspadai karena jika tanda-tanda ini sudah ada, maka itu berarti bahwa sebuah bangsa sedang menuju jurang kehancuran.  Tanda-tanda yang dimaksud adalah : (1) meningkatnya kekerasan di kalangan remaja, (2) penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk, (3) pengaruh peer-group yang kuat dalam tindak kekerasan, (4) meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alkohol dan seks bebas, (5) semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk, (6) menurunnya etos kerja, (7) semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru, (8) rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara, (9) membudayanya ketidakjujuran, dan (10) adanya rasa saling curiga dan kebencian di antara sesama. 
Dalam keseharian kesepuluh tanda-tanda kehancuran tersebut tidak sulit kita temukan; sebaliknya intensitas dan frekuensinya semakin kuat. Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di AS tahun 70 an. Bedanya di AS segera ada komitmen yang jelas untuk memperbaikinya, sementara di negeri ini masih didominasi perilaku ego dan syawat kuasa para petingginya. Belajar dari kebangkitan kejayaan AS, pendidikan karakter memang terbukti mampu menjadi pijakan utama dalam membangun kejayaan bangsa (Ryan; 2002). Pertanyaannya adalah akankah Indonesia juga mampu bangkit menggapai kejayaannya?  Pendidikan karakter yang seperti apa yang hendak dilakukan di sekolah?

b. Apa & Mengapa Karakter Penting?
Karakter berasal dari bahasa Yunani Charassein yang artinya menggoreskan pada lilin, batuan atau logam. Dari sini muncul arti bahwa karakter adalah tanda pembeda. Pengertian karakter kemudian berkembang menjadi : pola tingkah laku atau landasan moral seseorang. Heraclitos (500BC)  berkata bahwa  “Character is destiny. It shapes the destiny of a whole society”. “Character education is teaching students to know the good, love the good, and do the good.” It is cognitive, emotional, and behavioral. It integrates head, heart, and hands. It places equal importance on all three”.
Karakter yang baik mencakup tiga hal: tahu kebenaran, mencintai kebenaran dan melakukan kebenaran. Ketiganya tidak bisa dipisahkan (Ryan, 2001). Kebenaran adalah : gabungan lintas budaya tentang keinginan dan perintah moral yang mengikat kita baik sebagai individu maupun sebagai warga masyarakat. Keinginan dan perintah moral itu diantaranya adalah: Kebijaksanaan, keadilan, sifat baik dan keberanian.
Tahu kebenaran berarti mengerti tentang kebenaran dan kejelekan; Aristoteles menyebutnya dengan kearifan. Mempunyai kearifan berarti mengerti situasi yang membutuhkannya. Ini tidak sekedar pengaturan waktu tapi lebih pada penentuan prioritas dan pemilihan kebaikan dalam segala aspek kehidupan yang didalamnya termasuk kemampuan membuat komitmen yang bijaksana dan melaksanakannya.
Mencintai kebenaran berarti membangun perasaan moral dan emosi termasuk mencintai kebaikan dan mencela kejahatan dan menumbuhkan rasa empati pada orang lain. Semua ini berkenaan dengan keinginan untuk melakukan semua yang baik. Mencintai kebenaran membantu kita menghargai dan mencintai seseorang meskipun kita tahu bahwa apa yang dilakukannya salah “cintailah orang yang berdosa dan bencilah dosanya.”
Melakukan kebenaran berarti bahwa setelah melakukan pertimbangan yang mendalam terhadap segala situasi dan fakta-fakta yang berhubungan kita mempunyai keinginan untuk melakukannya. Dunia sekarang penuh dengan orang yang tahu hal-hal yang benar yang harus dilakukan tetapi dunia ini kekurangan orang-orang yang berkeinginan untuk melakukan kebaikan. Mereka tahu kebenaran tapi mereka tidak dapat membuat dirinya melakukan  kebenaran itu.
Jika suatu generasi atau suatu masyarakat tidak lagi bisa melihat mana yang baik dan mana yang buruk, tidak lagi sanggup berbuat kebaikan maka jelas ada yang salah dalam sistem pendidikannya sehingga wajar jika masyarakat itu akan hancur dengan sendirinya. Ada cara yang mudah untuk melihat karakter sesorang. Lord Macaulay’s “untuk mengukur karakter seseorang ada dua cara:
    1. Apa yang dia kerjakan tanpa sepengetahuan orang lain
    2. Apa yang dia lakukan jika dia berada dalam tekanan

Kita adalah arsitek dan seniman pembentuk karakter kita sendiri. Kita tidak dilahirkan kedunia ini dengan kebiasaan baik atau buruk. Kebiasaan buruk seperti egois, malas, tidak jujur dan tidak bertanggung jawab sangat mudah untuk diperoleh. Kita dengan mudah mendapatkannya tanpa berusaha. Tapi penguasaan kebiasaan baik membutuhkan usaha keras. William Makepeace Thackeray mengambarkan usaha keras itu dalam sajaknya:
Taburlah ide dan kau akan menuai tindakan
Taburlah tindakan dan kau akan menuai kebiasaan
Taburlah kebiasaan dan kau akan menuai karakter
Taburlah karakter dan kau akan menuai nasib

Meskipun bakat alam sangat berperan dan mewarnai dalam pembentukan karakter tetapi dedikasi dan kerja keras adalah juga faktor yang menentukan. Kita dituntut untuk terus berusaha dan berlatih tetapi usaha dan latihan saja tidak akan menjadikan kita orang yang bisa membuat karakter yang baik, kita masih dituntut untuk mempunyai pandangan terhadap standar kesempurnaan dari apa yang dia ingin capai melalui segala macam usahanya.


c. Seberapa Kuat Peran Sekolah ?
Sekolah hari ini adalah citraan masyarakat masa depan yang diidamkan oleh masyarakat (Houston, 1989). Jika tesis yang diajukan Houston tersebut dijadikan rujukan maka jelaslah bahwa jika di masa depan kita menginginkan lahirnya masyarakat yang berkarakter positif – baik maka sekolah hari ini harus dirancang menjadi salah satu pilar penting dalam menanamkan karaktar yang baik.  Dalam perspektif ini sekolah tidak terpisah dari komunitasnya yang berarti peran orang tua juga sangat signifikan dalam meneguhkan apa yang diajarkan di sekolah.
Warga sekolah adalah mahkluk sosial dan mengembangkan kehidupan mereka dalam kontek sosial. Ruang kelas dan lingkungan sekolah akan menghasilkan berbagai macam hubungan sosial seperti; hubungan antar sesama guru, hubungan antara staf dan petugas administrasi, hubungan antara siswa dengan guru, siswa dengan sopir bis dan siswa dengan pelayan cafe. Prinsip - prinsip seperti kepercayaan, keberanian, saling menghargai, kerjasama, kebersamaan atau bahkan ketidakpercayaan, ketakutan, kekuatan, manipulasi dan persaingan yang tidak sehat memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam pembentukan karakter siswa di sekolah.
  Celakanya, kadang prinsip - prinsip yang mengatur pembentukan karakter di sekolah tidak ada dalam diri siswa. Siswa dapat dengan mudah dan cepat mempraktekkan nilai - nilai yang mereka peroleh dari lingkungan sekolah dan membentuk perilaku mereka. Contohnya ketrampilan mempertahankan diri justru akan terbentuk dimana siswa yang lebih tua mengganggu siswa yang lebih muda. Manipulasi dan mencontek benar benar dijunjung tinggi dan menjadi perilaku biasa (membudaya) ketika nilai siswa akan dihargai diatas segala galanya. Ketika kelulusan UN dianggap paling penting atas segalanya, maka kebiasaan hidup mencapai tujuan dengan menghalalkan segala cara merupakan hidden curricullum yang diinternalisasi dalam kepribadian siswa dan gurunya.  Tidak ada yang bisa diharapkan dalam kondisi tersebut kecuali sekolah tersebut akan kehilangan karakter. Di dalam komunitas sekolah, disamping siswa belajar bagaimana menjadi orang yang bermoral kuat, mereka juga bisa belajar bagaimana memanipulasi sistem, bagaimana hidup dibawah tekanan, bagaimana mengungkapkan keluarga mereka atau bahkan apapun mengenai diri mereka sendiri.
           

d.Mengapa Sekolah menjadi Sumber Karakter Negatif
1.Ketiadaan sharing Visi dan Tujuan
          Ketika visi dan tujuan tidak ditanamkan di sekolah, maka prinsip prinsip yang ada di sekolah untuk membentuk karekater yang ideal hanyalah berupa mantra saja. Ketika saling menghargai sesama sudah tidak lagi menjadi budaya, ketika mencontek sudah menjadi pembiasaan maka tujuan untuk mencapai sekolah yang berkarakter ideal sulit tercapai. Maka penularan visi dan tujuan sekolah, baik itu di dalam proses pengajaran di kelas maupun di luar kelas agar diketahui oleh semua warga sekolah menjadi sangat penting. Visi misi sekolah bukanlah jargon kosong yang hanya jadi pajangan dinding gedung sekolah, tapi lebih dari itu ia adalah mantra yang harus dilafalkan dalam setiap tarikan nafas seluruh warga sekolah.

2.Persaingan tidak Sehat
          Persaingan yang tidak sehat akan dapat memperlemah terbentuknya karakter di sekolah. Ketika siswa terbiasa melihat teman-temannya yang malas tapi nilai ulangannya selalu bagus karena ikut les privat pada guru bidang studinya. Ketika siswa sering melihat gurunya sering adu mulut atau saling menyindir saat mengajar, atau guru yang saling berlomba pamer kekayaan lewat penampilan di sekolah, pada saat itu siswa belajar karakter negatif.  Ketika kemenangan adalah sebuah keharusan dan kekalahan adalah sesuatu yang memalukan maka hal ini akan memperlemah tujuan. Siswa dituntut untuk selalu menang dalam setiap pertandingan dan dilatih agar memiliki sifat egois arogan daripada bekerjasama dan saling menghargai. Pembentukan karakter di sekolah mengenalkan siswa kepada perbaikan diri, comitmen, dan sportif tidak hanya sekedar sukses dan menang.

3.Ketiadaan Kesempatan untuk Berbagi
          Ketika siswa tidak dilibatkan dalam acara kebersihan sekolah atau tidak diberi kepercayaan untuk mamantau adik kelas mereka dan ketika guru menerima tugas yang dikerjakan dengan cepat tanpa berpikir dari siswa lalu munculah pernyataan bahwa sekolah adalah tempat yang tepat bagimu tapi tidak membutuhkan tanggung jawabmu. Ketika siswa tidak diberi kesempatan untuk berperan dalam aktifitas sekolah maka sesungguhnya mereka telah kehilangan kesempatan untuk mengembangkan tanggung jawab dan kedermawanan mereka. Dalam komunitas yang bermoral, berbagi adalah cara yang sederhana untuk menjadikan hidup lebih berarti.  

4.Ketiadaan Tradisi Membudayakan Kebiasaan Baik.
          Pembiasaan adalah tulang punggung dari semangat sekolah untuk menyukai hal hal yang baik. Sekolah tanpa tradisi ibarat komunitas tanpa hati, tanpa semangat kekeluargaan, tanpa penghargaan terhadap sejarah. Sekolah harus membiasakan kepada warga sekolah terhadap kebiasaan baik yang nantinya akan membentuk karakter yang ideal. Mengucap salam, menegur dengan santun, menengok teman yang sakit, membantu pihak yang mengalami kesulitan yang kesemua itu dilakukan tanpa pamrih tanpa membedakan ras dan agama apalagi status sosial. Menghargai usaha orang lain mengapresiasi kesungguhan, kesetiaan dan komitmen merupakan serangkaian kebiasan berbvuat baik yang harusnya menjadi budaya sekolah.

5.Ketiadaan Aspirasi Siswa
Sangat ironis ketika sekolah mengatakan bahwa lingkungan sekolah adalah lingkungan yang demokratis tetapi aspirasi siswa terpasung. Ketika hal ini terjadi maka kesempatan siswa untuk berdialog, menilai, mengembangkan kemampuan dirinya menjadi terbatas. Karena pada prinsipnya sesungguhnya siswa sedang belajar untuk berpartisispasi dalam masyarakat dan juga belajar untuk menjadi warga negara yang demokratis.

6.Ketidakpedulian terhadap Kebersihan Sekolah
Di banyak sekolah ”kaya” masalah kebersihan sekolah sudah dilimpahkan kepada cleaning service, dan siswa hanya fokus belajar saja! Keadaan ini juga memiliki kelemahan, karena ada sebagian wahana belajar karakter yang hilang karena sudah dibereskan oleh cleaning service. Idealnya sekolah masih menyisakan bagian tertentu yang bisa dijadikan ajang dan media pembentukan karakter. Dalam pembentukan karakter di sekolah, siswa dilibatkan untuk berpartisipasi dalam menjaga kebersihan sekolah. Ketika halaman sekolah penuh dengan bungkus permen, kertas bekas dan plastik bisanya mengharapkan orang lain untuk membersihkannya. Ketika siswa tak lagi peka dan terusik ketika mendapati ruang kelasnya berantakan kursi meja berdebu dan tatanannya semrawut itu artinya siswa sekolah itu sudah mati rasa! .


f.Masyarakat Yang Hipokrit!
Pendidikan karakter butuh kerjasama yang kuat antara sekolah dengan orang tua. Sebab apa yang diajarkan di sekolah dengan segala keterbatasan waktu idealnya ditindaklanjuti atau dikuatkan oleh orang tua siswa dalam keluarga masing-masing. Seperti dijelaskan di depan pendidikan karakter butuh kondisioning, keteladanan dan pembiasaan yang dilandasi komitmen dan konsistensi dari mereka yang lebih dewasa (baca: guru, orang tua dan masyarakat).
Celakanya, sekolah sekolah hari ini tumbuh dalam lingkungan masyarakat yang hipokrit yakni masyarakat yang pintar omong kebaikan, pandai kothbah kabajikan dan moral tapi minus dalam keteladanan. Masyarakat yang lebih menghargai hasil instant ketimbang proses yang lebih bisa dipertanggungjawabkan secara moral. Sekolah hari ini harus berhadapan dengan fenomena masyarakat yang opportunis, hedonis dan kurang menghargai nilai-nilai keutamaan sebalinnba lebih menghargai nilai kepemilikan  kebendaan. Sekolah tidak terkecuali RSBI kini harus menghadapi masyarakat yang kacau dalam tatanan nilai moral dan tatanan sosialnya, inilah fenomena social disorder yang potensial menimbulkan chaos di setiap kesempatan.  Masyarakat kita hari ini sibuk dalam ritual agama tapi minus dalam kebajikan dan kesalehan sosial. Bahkan kini muncul fenomena ”Emprit Grandhil” yang suka menitipkan anaknya pada burung lain untuk dierami hingga menetas dan setelah menetas diakui sebagai anaknya, itupun dengan syarat harus jadi orang sukses!
  Sekolah hari ini lantas punya tugas bukan hanya mendidik siswa tapi juga mengedukasi keluarga siswa lewat pola-pola kerjasama yang hangat dan tidak menggurui.  Sekolah harus melibatkan orang tua karena anak menghabiskan waktu di sekolah tidak sebanyak mereka di rumah. Sehingga jika dalam pembentukan karakter hanya diserahkan kepada sekolah saja, pastilah usaha ini tidak akan mencapai hasil yang maksimal.
Ada tiga tahapan penting dalam pendidikan karakter yang operasionalnya membutuhkan kerjasama yang solid antara tiga level kelembagaan yakni keluarga (mikro), sekolah dan pranata sosial lainnya (mezo) dan negara-pemerintah (makro). Di rumah atau keluarga pendidikan karakter dimulai dengan proses inisiasi nilai dan sistem kepercayaan. Orang tua harus secara jelas berani menginisiasi nilai-nilai keutamaan apa yang harus menjadi pedoman hidup anak-anak dan seluruh anggota keluarga. Tahap berikutnya adalah proses klarifikasi nilai yakni tahap dimana ketika anak masuk dalam pergaulan sosial yang lebih luas dan menyerap nilai-nilai baru dalam kehidupannya maka adalah kewajiban orang tua untuk melakukan klarifikasi  nilai-nilai mana yang sesuai dengan nilai-nilai keutamaan hidup yang diajarkan dalam keluarga dan mana nilai-nilai yang tidak sesuai. Pada tahap ini orang tua harus jelas dan tegas menunjukkan kepada anak nilai-nilai keutamaan apa yang harus mereka pegang teguh. Tahap terakhir adalah fasilitasi dan pembiasaan, bahwa perubahan perilaku dan penguasaan nilai-nilai keutamaan itu harus dipelihara dan dibiasakan sampai akhirnya menjadi proses internalisai yang menyatu dalam setiap nafas kehidupan indiidu tersebut.
Paparan idiatas menegaskan bahwa basis pembentukan pendidikan karakter adalah keluarga yang kemudian dilanjutkan di sekolah dan dimodelkan dalam keteladanan dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karenanya relasi keluarga, sekolah dan masyarakat harus merupakan satu garis kontinum yang konsisten dan koheren. Sukses atau gagalnya pendidikan karakter sejatinya sangat ditentukan oleh komitmen dan kosistensi orang tua untuk mampu tampil sebagai teladan  atau model atas nilai-nilai keutamaan yang diajarkan kepada anaknya. Jika orangtua tidak mampu sebagai teladan, para tokoh agama gagal menjadi tauladan, para politisi menjadi calo anggaran, para pejabat negara sibuk membangun citra politik yang narsistik, lantas mau dibawa kemana pendidikan karakter anak-anak kita. Sekolah bukan satu-satunya terdakwa atas gagalnya pendidikan generasi muda.

g.Penutup

 Pendidikan karakter tidak bisa hanya diajarkan secara formal! Pendidikan karakter butuh dicontohkan dalam keteladanan perilaku sehari-hari. Contoh yang nyata seperti yang dilakukan oleh presiden Uruguay saat rakyatnya yang menjadi buruh tambang terjebak di bawah tanah adalah contoh pendidikan karakter yang baik. Sebastian Pinera (Presiden Uruguay) akhirnya membatalkan kunjungan ke sejumlah negara yang sudah dijadwalkan  dan memilih bergabung dengan tim penyelamatan buruh tambang untuk bisa secara langsung mengomandani drama romantik penyelamatan buruh tambang yang terjebak di kedalaman 700 meter. Perdana Menteri Jepang Hatoyama memilih mundur dari kursi perdana menteri Jepang ketika ia menemukan gambaran riil bahwa janiji politik yang diucapkan selama kampanye sepertinya tidak mungkin bisa dicapai.
Dua orang tokoh dunia itu memberikan keteladanan dengan perbuatan tidak dengan omongan! Hal semacam inilah yang tidak dimiliki negeri ini sehingga janganlah membebani sekolah dan siswa dengan muatan-muatan kurikulum baru yang menambah beban. Pendidikan karakter bisa disajikan dalam format Hidden curricullum dan Null curricullum atau lewat kegiatan apapun karena yang penting adalah keteladanan dari orang dewasa dengan segala posisi, pangkat dan jabatannnya. Tanpa ada keteladanan yang terjadi justru lahirnya generasi baru yang lebih kejam dari generasi sebelumnya lantaran mereka rentan mengidap split personality sebagai konsekuensi pengasuhan yang hipokrit! .





[1] Naskah disajikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Karakter; Balitbang Kemendiknas – Komisi X DPR RI  September 2010



[i]Lickona, T.  1992. Educating for Character, How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility.  New York: Bantam Books, Inc.
Giruox, 2003. Postmodern Education. Penguin Bokks Inc.
Ryan. 2002. Building Character In the School. Penguin Books, Inc
Linda & Eyre, Richard, Teaching Your Children Values, NY, Simon & Schuster, 1998
Lockwood, AT, Character Education, Thousand Oak CA, Corwin Press, 1998



Menjadi SBI Apa Susahnya?


Menjadi SBI, Apa Susahnya?[1]
Oleh Nugroho[2]

a. Pengantar
RSBI yang diluncurkan sejak tahun 2005 akhirnya dievaluasi oleh  Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) di tahun 2011. Hasilnya jelas membuat para pengelola RSBI kurang nyaman, lantaran disebutkan bahwa seluruh RSBI yakni 1.305 sekolah yang ada di negeri ini belum layak menjadi SBI.
Sesuai peraturannnya SD berlabel RSBI jika ingin naik tingkat menjadi SBI harus menyiapkan minimal 10 % guru bertitel S-2 atau pascasarjana. Sedangkan untuk tingkat SMP harus ada 20 % guru lulusan S-2, dan tingkat SMA atau SMK harus ada 30% guru bergelar magister.  Ketentuan komposisi ini masih belum terwujud di RSBI manapun Hampir di seluruh RSBI di negeri ini, pendidik yang tamatan S-2 masih kepala sekolah saja (Ditjen Mandikdasmen; 2012).
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17/2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan ataupun Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan SBI pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah sejatinya bermaksud membangun sekolah yang berkualitas sehingga bisa menjadi benchmarking atau template sekolah lain. Sehingga wajar jika kualifikasi dan tentu saja kompetensi para guru menjadi focus penting dalam pengelolaan RSBI. Dalam perspektif ini sejujurnya kita butuh sekolah bermutu yang mampu disandingkan dan dipersaingkan dengan sekolah-sekolah negara maju. Oleh karena itu pemerintah tetap berkeras hati mempertahankan RSBI untuk terus didampingi sampai menjadi SBI.
Sayangnya setelah kurun waktu lima tahun kondisi para guru belum bisa di up grade sesuai tuntutan regulasinya. Di lain pihak malah banyak sekali “penyimpangan” yang justru memicu munculnya sorotan tajam dari berbagai kalangan khususnya kelompok yang sejak awal menolak program RSBI ini. Sekarang tinggal tersisa waktu 2 (dua ) tahun tentu bukan waktu yang longgar untuk menyiapkan semuanya.

b. Masalah
Euforia pengelolaan RSBi yang digelontor berbagai dana block grant yang melimpah dari pemerintah, serta diberi keleluasaan menghimpun dana partisipasi dari orangtua murid memang melenakan. Akibatnya pengelolaan RSBI terjebak pada tiga hal utama yakni:  1. Pemenuhan Sarpras; dan 2. Pembelajaran dengan bahasa Inggris; dan Studi banding ke luar negeri atas nama sister school. Sementara itu urusan pokok tentang kualifikasi dan kompetensi guru kurang mendapat perhatian (sudah ada perhatian namun umumnya banyak guru yang enggan untuk menempuh studi lanjut dengan alasan faktor usia). Demikian juga kualitas pembelajaran dan pencapaian prestasi masih banyak diragukan. Akibatnya muncul persepsi negatif dimasyarakat menyangkut hal-hal sebagai berikut:
1. RSBI Identik dengan sekolah mahal (Kapitalis – Komersialisasi Pendidikan)
2. Bilingual yang gagap, lantaran kemampuan bahasa Inggris gurunya rata-rata hanya pada level elementary.
3. Prestasi minus
4. Manajemen minus transparansi dan akuntabilitas

c. Pembahasan
c.1. RSBI (Tidak) Selalu Mahal.
Kritik kalangan aktivis LSM bahwa RSBI mahal tidak selalu benar, sebab banyak juga sekolah RSBI yang ongkosnya biasa-biasa saja, misalnya di Magelang. Namun yang tidak bisa dipungkiri adalah fakta bahwa sejak suatu sekolah dinobatkan sebagai RSBI umumnya mereka lantas merujuk negara-negara maju (semula negara OECD) yang tampilan sarana dan prasarananya memang bukan tandingan sekolah-sekolah kita.
Ketika sekolah RSBI mencoba memenuhi (melengkapi) Sarpras sebagaimana kriteria Sarpras sekolah maju di negara OECD jelas saja butuh pembiayaan ekstra yang tidak bisa dicukupi oleh anggaran dari sekolah tersebut sehingga berlaku ”sumbangan pengembangan institusi” (SPI dan itu tidak melanggar aturan). Problem yang muncul lantas besarnya pungutan yang belum jelas batasannya  alias variatif tanpa pagu yang jelas itu dikaitkan dengan probabilitas penerimaan siswa (PPDB). Di sinilah titik krusial munculnya kritik bahwa RSBI sebagai sekolah Kapitalis yang diskriminatif! Meskipuin kritik itu dibantah dengan pemberian kuota 20% untuk siswa miskin berprestasi, namun kritik itu tak kunjung surut.
Sejatinya masalah fundamental yan gharus dicermati bersama adalah, apakah benar ketersediaan Sarpras yang hebat itu sudah sejalan dengan kemampuan operasional edukatif para gurunya. Misalnya pembelajaran berbasis ICT apakah benar-benar diterapkan dan mampu memperkaya, memperluas, dan memperdalam pengetahuan siswa ?  Sampai hari ini ada kecenderungan LCD hanya wujud baru dari fungsi OHP ? Jaringan internet hanya berfungsi sebagai sarana copy paste ?
Sejatinya jika sekolah RSBI mau membuat kalkulasi rasional tentang unit cost per siswa pertahun mestinya kritik tentang sekolah mahal bisa ditampik. Di sisi lain kualitas pembelajaran ditingkatkan dengan optimalisasi semua sarpras dan lingkungan belajar yang ada.

c.2. Hebohnya Mengajar Dengan Bahasa Inggris
Menyajikan materi pelajaran dengan bahas Inggris telah menjadi bumerang tersendiri bagi upaya peningkatan prestasi belajar siswa. Dari penelitian dan evaluasi yang dilaksanakan Kementerian Pendidikan Nasional terungkap, lebih dari 80 persen guru dan kepala sekolah kemampuan bahasa Inggrisnya sangat rendah. Berdasarkan hasil test of english for international communication (TOEIC), para guru dan kepala sekolah berada di level novice (100-250) dan elementry (255-400). Dengan kemampuan bahasa Inggris seperti itu jelas tidak memadai untuk menyampaikan materi pelajaran. Bahkan beberapa guru mengaku stress saat akan mengajar.
Hasil riset Jim Cummins, ahli bahasa dari University of  Toronto (Kanada) menunjukkan bahwa kemampuan berbahasa untuk kegiatan sosial atau basic interpersonal communication skills (BICS) perlu dipelajari selama dua tahun. Sementara itu, untuk kegiatan belajar-mengajar akademik atau cognitive academic language proficiency (CALP) diperlukan lima hingga sepuluh tahun.
Adapun BICS adalah kemampuan bahasa yang diperlukan dalam konteks sosial, misalnya percakapan dengan teman, transaksi jual beli di pasar, jamuan makan di restoran, dan lain-lainnya. Percakapan sosial ini banyak memiliki petunjuk nonverbal seperti ekspresi wajah, gerakan tubuh, obyek acuan, dan tidak begitu memerlukan aspek kognitif secara dominan.
Sementara CALP, , lebih mengacu kepada bahasa yang digunakan pada konteks pembelajaran akademik formal yang meliputi kegiatan membaca, menulis, mendengar dan berbicara dalam sesuai dengan kaidah keilmuan tertentu, misalnya ilmu Fisika, Biologi, Sosiologi, dan Seni Suara.
Mensyaratkan guru hanrus menguasai TOFL 500 jelas bukan urusan gampang, sebab masa peka belajar bahasa adalah pada rentang usia 1- 14 tahun jadi kalau para guru RSBI sudah berusia 35 - 45 tahun ”terpaksa” belajar bahasa Inggris jelas butuh usaha ekstra yang tidak semua guru sanggup melakukan. Mengajar menggunakan bahasa pengantar bahasa Indonesia saja tidak semua siswa mampu mencapai ketuntasan optimal, apalagi mengajar menggunakan bahasa pengantar bahasa Inggris yang gurunya sendiri masih ”kagok”. Semua ini tidak terlepas dari kesalahan mamahami kata ”Internasional” yang diidentikkan dengan berbahasa Inggris. Padahal Cina, Jepang, Jerman, Korea menginternasional tanpa harus pakai bahasa Inggris.



c.3. Prestasi Yang Kurang Menonjol
Berdasarkan evaluasi terhadap sekolah rintisan sekolah bertaraf internasional, tidak ditemukan perbedaan signifikan mutu sekolah RSBI dengan sekolah reguler. Untuk beberapa skor, termasuk Bahasa Inggris, siswa dan guru di sekolah reguler bahkan lebih unggul. Pada jenjang SMP, skor Bahasa Inggris siswa RSBI 7,05, sedangkan siswa reguler 8,18. Skor guru Bahasa Inggris di SMP 6,2, di atas guru RSBI 5,1. Ini juga terjadi pada guru Bahasa Inggris jenjang SMA. Evaluasi dilakukan Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Dengan rentang skor 0-9, perbedaan skor siswa dan guru RSBI dengan sekolah reguler yang berselisih maksimal 1 poin belum menggambarkan peningkatan mutu berarti. Secara rata-rata, kemampuan RSBI tak berarti lebih baik dari sekolah reguler yang unggul. Jika sekolah reguler diberi fasilitas baik, guru yang kompeten pun bisa mengangkat kualitas sekolah tanpa status RSBI. Fakta ini adalah tantangan bagi para pengelola RSBI untuk bisa mencari formula pembelajaran yang tepat agar mampu menampilkan hasil pencapaian prestasi yang nyata dibanding sekolah biasa.
Pada tingkat SD, skor Matematika, Sains, dan Bahasa Inggris siswa RSBI dan reguler tak jauh beda. Selisih tertinggi 1,15 pada Bahasa Inggris. Yang lain, selisih skornya di bawah 1. Kemampuan guru kelas SD RSBI dan reguler hanya selisih 0,3 poin. Pada tingkat SMP, nilai Bahasa Inggris siswa reguler 8,18, sedangkan RSBI 7,05. Bahkan, nilai guru Bahasa Inggris sekolah reguler lebih tinggi daripada RSBI.Pada jenjang SMA, nilai RSBI lebih baik. Bedanya di atas 1,0 lebih untuk Bahasa Inggris, Matematika, Biologi, dan Fisika. Nilai Bahasa Inggris RSBI 7,76, sedangkan reguler 6,63.
Namun, nilai guru Bahasa Inggris sekolah reguler 3,7, di atas RSBI 3,5. Guru SMA reguler juga unggul pada skor pelajaran Fisika, Biologi, dan Bahasa Inggris. Kemampuan pedagogi guru juga tak jauh beda. Bahkan, di SD, skor pedagogi guru sekolah reguler lebih unggul. Jenjang SMP selisihnya kecil, (Kompas.com; Minggu, 8 April 2012).
Atas dasar hasil evaluasi ini maka tidak berlebihan jika masyarakat lantas mempertanyakan kenapa RSI yang ditopang dengan berbagai regulasi dan pembiayaan besar tidak mampu menampilkan pencapaian seperti yang diharapkan (”dijanjikan”)



c.4. Transparansi dan Akuntabilitas
Problem kronis pengelolaan RSBI adalah lemahnya transparansi dan akuntabilitas. Di beberapa tempat persoalan tata kelola ini menyeruak masuk ranah hukum yang cukup heboh. Kasus yang paling menonjol adalah SDN RSBI Rawamangun 12 Pagi, Jakarta Timur. BPK Perwakilan Jakarta menemukan indikasi kerugian negara/daerah sebesar Rp 4,5 miliar dalam pengelolaan dana BOS, BOP, Block Grant RSBI dan dana yang berasal dari masyarakat tahun 2007-2009 di SDN RSBI Rawamangun 12 Pagi tersebut. Penyelewengan terjadi dalam berbagai bentuk, salah satunya penggunaan dana yang berasal masyarakat untuk kegiatan sekolah meski kegiatan tersebut telah didanai oleh dana BOS, BOP dan Block Grant RSBI.
Febri Hendri Peneliti senior Indonesia Corruption Watch (ICW), mengatakan, sekolah-sekolah berstatus RSBI/SBI memang mengelola dana yang sangat besar. Hal itu terjadi karena selain mendapat dana bantuan besar tiap tahun dari pemerintah pusat dan daerah, sekolah-sekolah tersebut juga diizinkan memungut dana dari masyarakat (2010). Menurut kalkulasi ICW, sebuah sekolah RSBI/SBI SD, SMP, SMA atau SMK rata-rata mengelola dana publik sebesar Rp 5 miliar setiap tahunnya.
Saat ini, BPK Perwakilan Jakarta telah merekomendasi pada BPK RI untuk melakukan audit investigatif atas temuan penyelewengan dana BOS, BOP, Block Grant RBI dan Komite Sekolah senilai Rp 5,7 miliar di 7 sekolah di Jakarta, salah satunya di SDN RSBI Rawamangun 12 Pagi itu. Audit investigatif diharapkan dapat menemukan bukti-bukti yang lebih kuat adanya tipikor (tindak pidana korupsi) dalam pengelolaan dana-dana tersebut
Sementara itu, saat ini di Indonesia sedikitnya terdapat 1.100 sekolah berstatus RSBI/SBI. Untuk itu, pelaksanaan audit selama ini juga didasarkan pada laporan orang tua murid dan masyarakat ke ICW dan KAKP.
Persoalan tata kelola dan akuntabilitas bukan hanya persoalan penggalian dan penggunaan dana. Tidak kalah pentingnya adalah bagaimana sekolah-sekolah itu berkomitmen terhadap visi misi sekolah dan penjabaran program-programnya. munculnya penilaian bahwa RSBI tidak layak menjadi SBI tidak lepas dari ”kelengahan” atau lemahnya komitmen dalam mewujudkan visi-misi melalui setiap program sekolah yang terukur. Misalnya, program ”Sister School” apa nilai substansial secara kelembagaan yang bisa dikatakan sebagai nilai tambah (value added), demikian juga dengan berbagai studi banding yang kemudian menjadi lahan bisnis biro perjalanan wisata perlu refleksi apa value added nya. Kondisi ini harus bisa dicarikan solusi yang cerdas.


d. Breakthrough Solution
d.1. Peningkatan Kualifikasi PTK. Program terobosan harus dilakukan guna memenuhi proporsi guru yang S2 dalam jangka waktu dua (2) tahun. Ada banyak cara kreatif yang bisa ditempuh. Misalnya, 1). Memilih sejumlah guru yang mampu berakselerasi menyelesaikan studi dalam waktu yang lebih cepat dan mendapat insentif dari sekolah. 2). Memberikan technical assistance kepada para guru yang sudah menempuh studi tapi ”macet” dalam kuliahnya; dan masih banyak lagi strategi yang bisa ditempuh untuk memenuhi proporsi kualifikasi S2.
d.2. Penguatan Kapasitas Kelembagaan. Pemilikan ISO ternyata tidak serta merta berkorelasi linier dengan kapasitas kelembagaan terutama terkait dengan budaya mutu. Terobosan harus ditempuh meliputi: 1. menentukan standart, komponen dan indikator mutu di setiap 8 SNP. Selanjutnya merumuskan strategi pencapaian masing-masing standar tersebut. 2. Membuka ruang kreatif bagi setiap warga sekolah untuk menampilkan kinerja yang unggul di setiap bidang. 3. Menciptakan iklim kerja yang apresiatif terhadap pencapaian prestasi. 4. Membangun budaya mutu di setiap lini manajemen.
d.3. Strategi Pembelajaran. Berbagai kegiatan bench marking, studi banding dan sister school, terbukti gagap menangkap hakekat mutu yang di bangun di negara-negara maju yang dikunjungi. Umumnya, aspek yang mudah ditangkap dan ”dikagumi” adalah kelengkapan dan kemegahan sarpras. Mereka gagal menangkap ”ruh” pembelajaran yang menjadikan sekolah-sekolah di negara maju itu bermutu. Ruh pembelajaran yang mereka kembangkan adalah bagaimana para guru bukan hanya mengajarkan materi subyek melainkan lebih dahsyat lagi mereka mengajarkan thingking system. RSBI masih belepotan mengajarkan materi subyek. Terobosan yang harus dilakukan adalah: 1. melatih guru untuk bisa mengajarkan thinking skill dan thinking system sehinga murid-muridnya kelak tidak hanya sibuk belajar pengetahuan hafalan pada level C1 dan C2 . 2. Membiasakan penggunanan prosedur evaluasi yang lebih variatif sehingga mendorong terbangunnya spirit penemuan (the seeker and discover) dalam mindset siswa. 3. Mengembangkan ranah intereaktif yang memungkinkan siswa trampil menyampaikan gaagsan dan penemuannnya
d4. Melaksanakan prinsip Akuntabilitas dan Transparansi.  Saat masyarakat meragukan tata kelola yang fair, maka seyogyanya kalangan RSBI menjawab dengan mempraktekkan mekanisme kerja yang memenuhi azas transparansi dan akuntabilitas pengelolaan terutama manajemen keuangan.



[1] Naskah disajikan dalam forum Workshop Kepala Sekolah RSBI dengan Tema ‘Revitalisasi RSBI” di Gedung P2G Semarang tanggal 13  April 2012

Konsep Dasar CIBI


Konsep Dasar CIBI[1]
Oleh Nugroho

a.   Pengantar
Membangun kesejahteraan & kejayaan bangsa ternyata tidak bisa mengandalkan kekayaan sumberdaya alam dan jumlah penduduk sebagai tenaga kerja murah. Indonesia yang punya sumberdaya alam berlimpah, tenaga kerja berjuta, tapi tidak bisa mencapai kesejahteraan dan kejayaan. Di lain pihak ada banyak negara yang sumberdaya alamnya sangat minim jumlah penduduknya  juga tidak banyak, namun bisa menjadi negara yang sejahtera bahkan dominan dalam merubah “peta” dunia.
Dunia hari ini dikendalikan oleh arus besar yang bernama “industry kreatif”. Berbagai penemuan baru menjadi penanda suburnya kreativitas di suatu negara dan hal tersebut menjadi sumber-sumber pendapatan negara; inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan knowledge based economy.
Dalam realitasnya industry kreatif dimotori oleh orang-orang berbakat di bidangnya. Itulah sebabnya, memfasilitasi perkembangan keberbakatan anak menjadi kebutuhan yang mutlak harus dipenuhi untuk mencapai kesejahteraan dan kejayaan bangsa. Dibanding negara lain dalam hal penyelenggaraan pendidikan untuk anak berbakat Indonesia tergolong ‘terlambat”.  Di Cina Dinasti Tang  tahun 618 SM – anak berbakat mendapat perhatian tinggi & Pelatihan - Pendidikan Khusus; Eropa menjelang abad Renaisance 1300 -1700 (Michelangelo, Leonardo da Vinci, Dante);Turki 1500 Masehi sekolah Constantinopel; Tokugawa Jepang 1604-1868; AS 1800 Thomas Jefferson; Soviet mencapai puncak tahun 1957; Indonesia 1974, 1982, 1994, 1999 sampai sekarang dengan berbagai pro dan kontra di kalangan pemerintah maupun di kalangan masyarakat.
Tujuan program CIBI adalah optimalisasi potensi keberbakatan peserta didik sehingga menjadi keunggulan nyata.
 CIBI adalah layanan pendidikan khusus untuk anak-anak berbakat istimewa yang dimaksudkan mampu mendorong percepatan manifestasi dan optimalisasi keberbakatan yang dimiliki oleh setiap siswa.

dari pabrik penggilingan kertas di Finlandia sampai menjadi pemimpin komunikasi global,


  1. Masalah
q  Pemahaman Konsep Keberbakatan
Sampai saat ini ada berbagai konsep tentang keberbakatan dan masing-masing pihak punya argument teoritik maupun empiric yang berbeda. Variabilitas pemahaman keberbakatan inilah yang menjadi salah satu sumber perbedaan praksis pendidikan CIBI
q  Implementasi Penyelenggaraan Program CIBI
Sampai saat ini masih banyak terjadi “variabilitas” (boleh dibaca: “penyimpangan”) penyelenggaraan program CIBI di berbagai wilayah. Bahkan sampai saat ini bekum ditemukan model empiric yang kokoh dalam penyelenggaraan program CIBI

  1. Pembahasan
c.1. Konsep Keberbakatan
Dari berbagai konsep keberkatan yang saat ini berkembang; ada dua konsep yang sangat lazim digunakan yakni model keberbakatan Renzulli (The Three Ring Renzulli), individu dikataakan  gifted adalah mereka yang mempunyai inteligensia di atas rata-rata (di atas 130); memiliki motivasi dan komitmen terhadap tugas yang tinggi; serta kreativitas yang tinggi. Indionesia menganut konsep ini dalam penuyelenggaraan pendidikan keberbakatan. Disamping konsep konsep yang diajukan Renzulli ada juga konsep keberbakatan yang merupakan perluasan dari konsep tersebut yang sering disebut Triadik Renzulli-Mönks (Yulia van Tiel, 2007).
Di masyarakat memang dikenal istilah gifted and talented. Istilah gifted ditujukan untuk orang, anak didik atau siswa yang memiliki kemampuan akademis (secara umum) yang tinggi, yang ditandai dengan didapatkannya skor IQ yang tinggi pada pengerjaan tes kecerdasan/intelegensi, sedangkan talented adalah ditujukan untuk orang yang memiliki kemampuan unggul dalam bidang akademis yang khusus (seperti matematika, bahasa), juga bidang seni, musik, dan drama. Jadi kalau gifted itu ditujukan untuk kemampuan akademis secara umum, sedangkan talented ditujukan untuk dua kemampuan unggul:
  • Bidang akademis khusus
  • Bidang non-akademis

c.2. Karakteristik AB
1. Kemampuan Akademik.
§  Anak berbakat memiliki kemampuan untuk menangkap infromasi secara cepat,
§  Mampu berpikir logis sistematis, memiliki daya ingat yang kuat, setia, tahan lama dan luas. Mampu berpikir krits, mampu menyusun hipotesis dan mengajukan pemecahan masalah secara cermat dan tepat.
§  Mampu mencapai prestasi belajar yang tinggi.


2. Kreativitas.
§  Anak berbakat memiliki kemampuan untuk merumuskan persoalan dari perspektif yang tidak lazim-luar biasa.
§  mampu menemukan pemecahan masalah dengan cara yang berbeda memiliki minat yang luas di berbagai bidang kehidupan, senang terhadap tantangan baru.
§  memiliki selera humor yang tinggi, berani mengambil resiko, dinamis dengan inisiatif  dan pemikiran yang original, memiliki coriousity yang  besar, berani mengajukan gagasan dan memberi argumentasi yang benar, tidak menyukai rutinitas.

3. Motivasi.
§  Anak  bebakat  cenderung disiplin dalam belajar, tidak cepat putus asa, ulet, tekun
§  mampu mengelola waktu secara efisien, memiliiki ambisi untuk berprestasi,
§   memiliki kelekatan terhadap tugas dan tanggung jawab yang tinggi, memiliki totalitas yang tanpa ragu dalam menjalankan tugas.

4. Kepribadian.
§    Memiliki rasa percaya diri yang tinggi,  mampu menjaga kestabilan emosi, tidak mudah terpengaruh.
§    Memiliki kecenderungan untuk tampil exellecent dalam setiap kesempatan, memiliki penyesuaian diri yang lentur,
§    Memiliki jiwa kepemimpinan tinggi, mantap dalam penampilan , sopan dalam penampilan, mampu bergaul dengan orang yang lebih dewasa.


d. Kebutuhan AB
1. Akademik – Intelektual.
§  Anak berbakat memiliki kebutuhan untuk memperoleh informasi baru yang menantang petualangan intelektual,
§  melakukan aktivitas untuk memperoleh penguasan kompetensi dasar, perbendaharaan kata teknis dan pengetahuan lanjut di bidang akademik yang menjadi keunggulannya, 
§  menjalin interaksi dengan tokoh-tokoh yang signifikan di bidangnya,
§  melakukan aktivitas yang dapat mengekspresikan ketrampilan berpikir induktif & deduktif,
§  mengkomunikasikan pengetahuannya dan terlibat dalam hal-hal yang menyangkut isu moral dan etika,  menetapkan tujuan belajar secara realistic menghargai individual differences.



2.Kreativitas.
§  Anak berbakat membutuhkan budaya kreatif (creativognic culture), kesempatan untuk mewujudkan imajinasi dan cita-cita tanpa batas waktu,
§  bimbingan dalam menerapkan keberbakatannya untuk tujuan social yang relevan,
§  butuh bantuan untuk mengenali situasi yang menempatkan konformitas sebagai nilai utama, butuh kebebasan untuk mengembangkan kreativitas

3. Kepemimpinan.
§  Belajar untuk menjadi pengikut dan pemimpin,
§  bimbingan untuk menerima pendekatan alternative yang bervariasi untuk mencapai suatu tujuan,
§  melakukan klarifikasi nilai-nilai personal dan prioritas nilai universal fundamental,
§   bantuan dalam mencapai kesadaran tentang hakekat  problem kemanusiaan yang kompleks dan multidimensional,

4. Sosial – Emosional.
  • Anak berbakat memerlukan bantuan dalam mencapai penerimaan social yang otentik,
  • menjalin hubungan yang lebih harmonis dengan pihak lain,
  • memahami kondisi emosional diri sendiri dan orang lain, menjalin relasi social yang lebih hangat dan bermakna

d. Penyelenggaraan CIBI
Mencermati kkonsep keberbakatan dan kebutuhan individu di setiap perkembangan keberbakatan maka penyelenggaraan CIBI sejatinya memiliki tiga makna esensial.
Pertama, memberikan layanan yang tepat sesuai dengan kebutuhan tumbuhkembang keberbakatan yang dimiliki setiap individu agar potensi keberbakatannya dapat manifest secara optimal. Jika hal ini berhasil maka individu-individu  akan menjadi orang-orang bermakn, orang-orang sukses di bidangnya. Dengan demikian mereka akan mampu memberikan sumbangan besar terhadap kemajuan, kajayaan dan kesejahteraan bangsa.
Kedua, menghindarkan terjadinya dampak negative atas terhambatnya tumbuhkembang keberbakatan siswa. Berdasarkan riset yang dilakukan Herry (1996) menemukan bahwa anak berbakat yang tidak mendapatkan layanan yang sesuai di sekolah cenderung melakukan berbagai perilaku “mengganggu” teman lain, dan juga potensial mengalami underachiever; bahka 22% siswa berbakat akhirnya tidak naik kelas. Penelitian Yaumil (1990)  juga menemukan bahwa 30 % anak berbakat di SMA  berprestasi di bawah kemampuan rata-rata potensinya. Fakta empiris tersebut jelas bahwa penyelenggaraan CIBI sangat dibutuhkan sebagai katub pengaman yang menghindarkan terjadinya dampak negatiof terkungkungnya bakat siswa.
Ketiga, menyiapkan generasi unggul sebagai garda depan persaingan era industri kreatif. Seperti dikatakan Drucker kekuatan pereknomian suatu bangsa akan sangat ditentukan oleh kapasitas intelektual dan kreativitas warga negaranya. Hal senada juga dikatakan oleh Nonaka bahwa abad 21 keunggulan bangsa ditentukan oleh kemampuan dalam membangun knowledge based company. Modal capital perusahaan sudah bukan uang semata melainkan modal intelektual dan kreativitas. Abad 21 perekonomian dunia dikendalikan oleh kekuatan industri kreatif yang dibangun oleh orang-orang berbakat dengan kreativitas tinggi di berbagai bidang kehidupan.

e. Regulasi
Guna mewujudkan niat baik seperti tersebut di atas maka pemerintah merumuskan regulasi yang dijadikan rujukan penyelenggaraan  program CIBI sbb:

q  UU Sisdiknas No 30 Tahun 2003
q  Pasal 5 ayat 4:
§  Warga negara yg memiliki kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus
q  Pasal 12 ayat 1:
§  Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pelayanan  pendidikan sesuai dgn bakat, minat dan kemampuannya; menyelesaikan program pendidikan sesuai dgn kecepatan belajar masing-masing dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu yg ditetapkan
q  KepmenNo: 0487/U/1992  pasal 15 (Untuk SD)
§  Pelayanan bagi siswa yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa dapat diberikan melalui jalur pendidikan sekolah dan jalur pendidikan luar sekolah
§  Pelayanan pendidikan bagi siswa yang memiliki bakat istimewa dan keerdasan luar biasa melalui jalur pendidikan sekolah dapat diberikan dengan menyelenggarakan: 1. program percepatan; 2. program khusus; 3.program kelas khusus; 4. program pendidikan khusus.
Demikian juga sejumlah regulasi sejenis dibuat untuk memastikan program CIBI dapat dilaksanakan di jenjang pendidikan selanjutnya (SMP dan SMA).

  1. Kelembagaan
Sesuai dengan konsep keberbakatan dan merealisasikan amanat UU sebagaimana terurai di atas maka secara kelembagaan bentuk penyelenggaraan program layanan keberbakatan dapat dilakukan dalam bentuk :
         Program Pengayaan (Enrichment),
         Program Percepatan (Acceleration),
Bentuk Penyelenggaraan Pendidikan AB
         Kelas reguler
        Kelas reguler dengan kelompok (cluster)
        Kelas reguler dengan pull out
        Kelas reguler dengan cluster dan pull out

  1. Kurikulum.
Layanan anak berbakat membutuhkan menu spesisial sesuai keberbakatannnya. Oleh karena itu kurikulum berdiferensiasi merupakan kurikulum yang direkomendasikan untuk layanan pendidikan CIBI. Prinsip dasar KB adalah memberikan layanan individual dalam suasana klasikal yang bisa memberikan ruang ekspresi perkembangan keberbakatan siswa. Kurikulum berdiferensiasi memuat pokok-pokok materi kurikulum nasional dan muatan lokal, yang lantas diperkaya dan diperdalam dengan berbagai esensi keberbakatan yang dimiliki setiap siswa. KB juga memberi ruang psikologis untuk mengembangkan semua aspek tumbuhkembang keberbakatan siswa secara komprehensif (social, emosional dan spiritual).

  1. Hambatan
Meskipun sudah direncakanan dan diprogramkan secara baik, dalam kenyataannnya penyelenggaraan pendidikan untuk anak CIBI masih belum bisa terlaksana secara optimla. Hal itu tidak terlepas dari adanya sejumlah hambatan sbb:

  • Social Support yang lemah dan sering tidak konsisten
  • Pemerintah kurang respon terhadap penyelenggaraan pendidikan AB
  • Banyak sumber pembiyaan yg harus ditanggung orang tua murid dan pihak sekolah secara swadaya
  • Beban guru AB menjadi tambah berat tidak dimbangi dengan incentif yang memadai





[1] Naskah disajikan dalam forum Lokakarya – Workshop Pengembangan Pembelajaran CIBI Ditjen PK-LK Kemendikbud di Hotel Sahid Jogyakarta Tanggal 12 – 16 April 2012