Jumat, 13 April 2012

Menjadi SBI Apa Susahnya?


Menjadi SBI, Apa Susahnya?[1]
Oleh Nugroho[2]

a. Pengantar
RSBI yang diluncurkan sejak tahun 2005 akhirnya dievaluasi oleh  Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) di tahun 2011. Hasilnya jelas membuat para pengelola RSBI kurang nyaman, lantaran disebutkan bahwa seluruh RSBI yakni 1.305 sekolah yang ada di negeri ini belum layak menjadi SBI.
Sesuai peraturannnya SD berlabel RSBI jika ingin naik tingkat menjadi SBI harus menyiapkan minimal 10 % guru bertitel S-2 atau pascasarjana. Sedangkan untuk tingkat SMP harus ada 20 % guru lulusan S-2, dan tingkat SMA atau SMK harus ada 30% guru bergelar magister.  Ketentuan komposisi ini masih belum terwujud di RSBI manapun Hampir di seluruh RSBI di negeri ini, pendidik yang tamatan S-2 masih kepala sekolah saja (Ditjen Mandikdasmen; 2012).
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17/2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan ataupun Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan SBI pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah sejatinya bermaksud membangun sekolah yang berkualitas sehingga bisa menjadi benchmarking atau template sekolah lain. Sehingga wajar jika kualifikasi dan tentu saja kompetensi para guru menjadi focus penting dalam pengelolaan RSBI. Dalam perspektif ini sejujurnya kita butuh sekolah bermutu yang mampu disandingkan dan dipersaingkan dengan sekolah-sekolah negara maju. Oleh karena itu pemerintah tetap berkeras hati mempertahankan RSBI untuk terus didampingi sampai menjadi SBI.
Sayangnya setelah kurun waktu lima tahun kondisi para guru belum bisa di up grade sesuai tuntutan regulasinya. Di lain pihak malah banyak sekali “penyimpangan” yang justru memicu munculnya sorotan tajam dari berbagai kalangan khususnya kelompok yang sejak awal menolak program RSBI ini. Sekarang tinggal tersisa waktu 2 (dua ) tahun tentu bukan waktu yang longgar untuk menyiapkan semuanya.

b. Masalah
Euforia pengelolaan RSBi yang digelontor berbagai dana block grant yang melimpah dari pemerintah, serta diberi keleluasaan menghimpun dana partisipasi dari orangtua murid memang melenakan. Akibatnya pengelolaan RSBI terjebak pada tiga hal utama yakni:  1. Pemenuhan Sarpras; dan 2. Pembelajaran dengan bahasa Inggris; dan Studi banding ke luar negeri atas nama sister school. Sementara itu urusan pokok tentang kualifikasi dan kompetensi guru kurang mendapat perhatian (sudah ada perhatian namun umumnya banyak guru yang enggan untuk menempuh studi lanjut dengan alasan faktor usia). Demikian juga kualitas pembelajaran dan pencapaian prestasi masih banyak diragukan. Akibatnya muncul persepsi negatif dimasyarakat menyangkut hal-hal sebagai berikut:
1. RSBI Identik dengan sekolah mahal (Kapitalis – Komersialisasi Pendidikan)
2. Bilingual yang gagap, lantaran kemampuan bahasa Inggris gurunya rata-rata hanya pada level elementary.
3. Prestasi minus
4. Manajemen minus transparansi dan akuntabilitas

c. Pembahasan
c.1. RSBI (Tidak) Selalu Mahal.
Kritik kalangan aktivis LSM bahwa RSBI mahal tidak selalu benar, sebab banyak juga sekolah RSBI yang ongkosnya biasa-biasa saja, misalnya di Magelang. Namun yang tidak bisa dipungkiri adalah fakta bahwa sejak suatu sekolah dinobatkan sebagai RSBI umumnya mereka lantas merujuk negara-negara maju (semula negara OECD) yang tampilan sarana dan prasarananya memang bukan tandingan sekolah-sekolah kita.
Ketika sekolah RSBI mencoba memenuhi (melengkapi) Sarpras sebagaimana kriteria Sarpras sekolah maju di negara OECD jelas saja butuh pembiayaan ekstra yang tidak bisa dicukupi oleh anggaran dari sekolah tersebut sehingga berlaku ”sumbangan pengembangan institusi” (SPI dan itu tidak melanggar aturan). Problem yang muncul lantas besarnya pungutan yang belum jelas batasannya  alias variatif tanpa pagu yang jelas itu dikaitkan dengan probabilitas penerimaan siswa (PPDB). Di sinilah titik krusial munculnya kritik bahwa RSBI sebagai sekolah Kapitalis yang diskriminatif! Meskipuin kritik itu dibantah dengan pemberian kuota 20% untuk siswa miskin berprestasi, namun kritik itu tak kunjung surut.
Sejatinya masalah fundamental yan gharus dicermati bersama adalah, apakah benar ketersediaan Sarpras yang hebat itu sudah sejalan dengan kemampuan operasional edukatif para gurunya. Misalnya pembelajaran berbasis ICT apakah benar-benar diterapkan dan mampu memperkaya, memperluas, dan memperdalam pengetahuan siswa ?  Sampai hari ini ada kecenderungan LCD hanya wujud baru dari fungsi OHP ? Jaringan internet hanya berfungsi sebagai sarana copy paste ?
Sejatinya jika sekolah RSBI mau membuat kalkulasi rasional tentang unit cost per siswa pertahun mestinya kritik tentang sekolah mahal bisa ditampik. Di sisi lain kualitas pembelajaran ditingkatkan dengan optimalisasi semua sarpras dan lingkungan belajar yang ada.

c.2. Hebohnya Mengajar Dengan Bahasa Inggris
Menyajikan materi pelajaran dengan bahas Inggris telah menjadi bumerang tersendiri bagi upaya peningkatan prestasi belajar siswa. Dari penelitian dan evaluasi yang dilaksanakan Kementerian Pendidikan Nasional terungkap, lebih dari 80 persen guru dan kepala sekolah kemampuan bahasa Inggrisnya sangat rendah. Berdasarkan hasil test of english for international communication (TOEIC), para guru dan kepala sekolah berada di level novice (100-250) dan elementry (255-400). Dengan kemampuan bahasa Inggris seperti itu jelas tidak memadai untuk menyampaikan materi pelajaran. Bahkan beberapa guru mengaku stress saat akan mengajar.
Hasil riset Jim Cummins, ahli bahasa dari University of  Toronto (Kanada) menunjukkan bahwa kemampuan berbahasa untuk kegiatan sosial atau basic interpersonal communication skills (BICS) perlu dipelajari selama dua tahun. Sementara itu, untuk kegiatan belajar-mengajar akademik atau cognitive academic language proficiency (CALP) diperlukan lima hingga sepuluh tahun.
Adapun BICS adalah kemampuan bahasa yang diperlukan dalam konteks sosial, misalnya percakapan dengan teman, transaksi jual beli di pasar, jamuan makan di restoran, dan lain-lainnya. Percakapan sosial ini banyak memiliki petunjuk nonverbal seperti ekspresi wajah, gerakan tubuh, obyek acuan, dan tidak begitu memerlukan aspek kognitif secara dominan.
Sementara CALP, , lebih mengacu kepada bahasa yang digunakan pada konteks pembelajaran akademik formal yang meliputi kegiatan membaca, menulis, mendengar dan berbicara dalam sesuai dengan kaidah keilmuan tertentu, misalnya ilmu Fisika, Biologi, Sosiologi, dan Seni Suara.
Mensyaratkan guru hanrus menguasai TOFL 500 jelas bukan urusan gampang, sebab masa peka belajar bahasa adalah pada rentang usia 1- 14 tahun jadi kalau para guru RSBI sudah berusia 35 - 45 tahun ”terpaksa” belajar bahasa Inggris jelas butuh usaha ekstra yang tidak semua guru sanggup melakukan. Mengajar menggunakan bahasa pengantar bahasa Indonesia saja tidak semua siswa mampu mencapai ketuntasan optimal, apalagi mengajar menggunakan bahasa pengantar bahasa Inggris yang gurunya sendiri masih ”kagok”. Semua ini tidak terlepas dari kesalahan mamahami kata ”Internasional” yang diidentikkan dengan berbahasa Inggris. Padahal Cina, Jepang, Jerman, Korea menginternasional tanpa harus pakai bahasa Inggris.



c.3. Prestasi Yang Kurang Menonjol
Berdasarkan evaluasi terhadap sekolah rintisan sekolah bertaraf internasional, tidak ditemukan perbedaan signifikan mutu sekolah RSBI dengan sekolah reguler. Untuk beberapa skor, termasuk Bahasa Inggris, siswa dan guru di sekolah reguler bahkan lebih unggul. Pada jenjang SMP, skor Bahasa Inggris siswa RSBI 7,05, sedangkan siswa reguler 8,18. Skor guru Bahasa Inggris di SMP 6,2, di atas guru RSBI 5,1. Ini juga terjadi pada guru Bahasa Inggris jenjang SMA. Evaluasi dilakukan Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Dengan rentang skor 0-9, perbedaan skor siswa dan guru RSBI dengan sekolah reguler yang berselisih maksimal 1 poin belum menggambarkan peningkatan mutu berarti. Secara rata-rata, kemampuan RSBI tak berarti lebih baik dari sekolah reguler yang unggul. Jika sekolah reguler diberi fasilitas baik, guru yang kompeten pun bisa mengangkat kualitas sekolah tanpa status RSBI. Fakta ini adalah tantangan bagi para pengelola RSBI untuk bisa mencari formula pembelajaran yang tepat agar mampu menampilkan hasil pencapaian prestasi yang nyata dibanding sekolah biasa.
Pada tingkat SD, skor Matematika, Sains, dan Bahasa Inggris siswa RSBI dan reguler tak jauh beda. Selisih tertinggi 1,15 pada Bahasa Inggris. Yang lain, selisih skornya di bawah 1. Kemampuan guru kelas SD RSBI dan reguler hanya selisih 0,3 poin. Pada tingkat SMP, nilai Bahasa Inggris siswa reguler 8,18, sedangkan RSBI 7,05. Bahkan, nilai guru Bahasa Inggris sekolah reguler lebih tinggi daripada RSBI.Pada jenjang SMA, nilai RSBI lebih baik. Bedanya di atas 1,0 lebih untuk Bahasa Inggris, Matematika, Biologi, dan Fisika. Nilai Bahasa Inggris RSBI 7,76, sedangkan reguler 6,63.
Namun, nilai guru Bahasa Inggris sekolah reguler 3,7, di atas RSBI 3,5. Guru SMA reguler juga unggul pada skor pelajaran Fisika, Biologi, dan Bahasa Inggris. Kemampuan pedagogi guru juga tak jauh beda. Bahkan, di SD, skor pedagogi guru sekolah reguler lebih unggul. Jenjang SMP selisihnya kecil, (Kompas.com; Minggu, 8 April 2012).
Atas dasar hasil evaluasi ini maka tidak berlebihan jika masyarakat lantas mempertanyakan kenapa RSI yang ditopang dengan berbagai regulasi dan pembiayaan besar tidak mampu menampilkan pencapaian seperti yang diharapkan (”dijanjikan”)



c.4. Transparansi dan Akuntabilitas
Problem kronis pengelolaan RSBI adalah lemahnya transparansi dan akuntabilitas. Di beberapa tempat persoalan tata kelola ini menyeruak masuk ranah hukum yang cukup heboh. Kasus yang paling menonjol adalah SDN RSBI Rawamangun 12 Pagi, Jakarta Timur. BPK Perwakilan Jakarta menemukan indikasi kerugian negara/daerah sebesar Rp 4,5 miliar dalam pengelolaan dana BOS, BOP, Block Grant RSBI dan dana yang berasal dari masyarakat tahun 2007-2009 di SDN RSBI Rawamangun 12 Pagi tersebut. Penyelewengan terjadi dalam berbagai bentuk, salah satunya penggunaan dana yang berasal masyarakat untuk kegiatan sekolah meski kegiatan tersebut telah didanai oleh dana BOS, BOP dan Block Grant RSBI.
Febri Hendri Peneliti senior Indonesia Corruption Watch (ICW), mengatakan, sekolah-sekolah berstatus RSBI/SBI memang mengelola dana yang sangat besar. Hal itu terjadi karena selain mendapat dana bantuan besar tiap tahun dari pemerintah pusat dan daerah, sekolah-sekolah tersebut juga diizinkan memungut dana dari masyarakat (2010). Menurut kalkulasi ICW, sebuah sekolah RSBI/SBI SD, SMP, SMA atau SMK rata-rata mengelola dana publik sebesar Rp 5 miliar setiap tahunnya.
Saat ini, BPK Perwakilan Jakarta telah merekomendasi pada BPK RI untuk melakukan audit investigatif atas temuan penyelewengan dana BOS, BOP, Block Grant RBI dan Komite Sekolah senilai Rp 5,7 miliar di 7 sekolah di Jakarta, salah satunya di SDN RSBI Rawamangun 12 Pagi itu. Audit investigatif diharapkan dapat menemukan bukti-bukti yang lebih kuat adanya tipikor (tindak pidana korupsi) dalam pengelolaan dana-dana tersebut
Sementara itu, saat ini di Indonesia sedikitnya terdapat 1.100 sekolah berstatus RSBI/SBI. Untuk itu, pelaksanaan audit selama ini juga didasarkan pada laporan orang tua murid dan masyarakat ke ICW dan KAKP.
Persoalan tata kelola dan akuntabilitas bukan hanya persoalan penggalian dan penggunaan dana. Tidak kalah pentingnya adalah bagaimana sekolah-sekolah itu berkomitmen terhadap visi misi sekolah dan penjabaran program-programnya. munculnya penilaian bahwa RSBI tidak layak menjadi SBI tidak lepas dari ”kelengahan” atau lemahnya komitmen dalam mewujudkan visi-misi melalui setiap program sekolah yang terukur. Misalnya, program ”Sister School” apa nilai substansial secara kelembagaan yang bisa dikatakan sebagai nilai tambah (value added), demikian juga dengan berbagai studi banding yang kemudian menjadi lahan bisnis biro perjalanan wisata perlu refleksi apa value added nya. Kondisi ini harus bisa dicarikan solusi yang cerdas.


d. Breakthrough Solution
d.1. Peningkatan Kualifikasi PTK. Program terobosan harus dilakukan guna memenuhi proporsi guru yang S2 dalam jangka waktu dua (2) tahun. Ada banyak cara kreatif yang bisa ditempuh. Misalnya, 1). Memilih sejumlah guru yang mampu berakselerasi menyelesaikan studi dalam waktu yang lebih cepat dan mendapat insentif dari sekolah. 2). Memberikan technical assistance kepada para guru yang sudah menempuh studi tapi ”macet” dalam kuliahnya; dan masih banyak lagi strategi yang bisa ditempuh untuk memenuhi proporsi kualifikasi S2.
d.2. Penguatan Kapasitas Kelembagaan. Pemilikan ISO ternyata tidak serta merta berkorelasi linier dengan kapasitas kelembagaan terutama terkait dengan budaya mutu. Terobosan harus ditempuh meliputi: 1. menentukan standart, komponen dan indikator mutu di setiap 8 SNP. Selanjutnya merumuskan strategi pencapaian masing-masing standar tersebut. 2. Membuka ruang kreatif bagi setiap warga sekolah untuk menampilkan kinerja yang unggul di setiap bidang. 3. Menciptakan iklim kerja yang apresiatif terhadap pencapaian prestasi. 4. Membangun budaya mutu di setiap lini manajemen.
d.3. Strategi Pembelajaran. Berbagai kegiatan bench marking, studi banding dan sister school, terbukti gagap menangkap hakekat mutu yang di bangun di negara-negara maju yang dikunjungi. Umumnya, aspek yang mudah ditangkap dan ”dikagumi” adalah kelengkapan dan kemegahan sarpras. Mereka gagal menangkap ”ruh” pembelajaran yang menjadikan sekolah-sekolah di negara maju itu bermutu. Ruh pembelajaran yang mereka kembangkan adalah bagaimana para guru bukan hanya mengajarkan materi subyek melainkan lebih dahsyat lagi mereka mengajarkan thingking system. RSBI masih belepotan mengajarkan materi subyek. Terobosan yang harus dilakukan adalah: 1. melatih guru untuk bisa mengajarkan thinking skill dan thinking system sehinga murid-muridnya kelak tidak hanya sibuk belajar pengetahuan hafalan pada level C1 dan C2 . 2. Membiasakan penggunanan prosedur evaluasi yang lebih variatif sehingga mendorong terbangunnya spirit penemuan (the seeker and discover) dalam mindset siswa. 3. Mengembangkan ranah intereaktif yang memungkinkan siswa trampil menyampaikan gaagsan dan penemuannnya
d4. Melaksanakan prinsip Akuntabilitas dan Transparansi.  Saat masyarakat meragukan tata kelola yang fair, maka seyogyanya kalangan RSBI menjawab dengan mempraktekkan mekanisme kerja yang memenuhi azas transparansi dan akuntabilitas pengelolaan terutama manajemen keuangan.



[1] Naskah disajikan dalam forum Workshop Kepala Sekolah RSBI dengan Tema ‘Revitalisasi RSBI” di Gedung P2G Semarang tanggal 13  April 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar