Jumat, 13 April 2012

Pendidikan Karakter Dalam Masyarakat Hipokrit


Pendidikan Karakter Di Tengah Masyarakat Hipokrit[1]

a. Pengantar
Perlahan bangsa ini kehilangan jadi diri, kemudian  menjemput ajalnya sendiri. Sebagai bangsa besar yang dikenal ramah tamah, menghargai perbedaan, suka bergotong royong  semua itu hanya sanjung puja yang kelewat narsistis ketimbang realitasnya. Tawur antar kampung  di tengah khusuknya perhelatan ritual lebaran, tawur antar pelajar, kerusuhan massal karena kalah dalam Pilkada, pembakaran berbagai tempat ibadah kelompok minoritas dan masih sederet panjang fakta yang bisa dibentang di sini jelas menunjukkan bahwa jati diri sebagai bangsa yang ramah dan menghargai pruralisme telah hilang. Hari ini kita telah kehilangan karakter yang menjadi pondasi kuat kehidupan berbangsa dan bernegara bahkan kita nyaris kehilangan karakter untuk bisa mencintai kehidupan!
Tanda-tanda kehancuran ini sudah sangat jelas. Mengacu pada pendapat Thomas Lickona[i] (1992), mengungkapkan bahwa ada sepuluh tanda-tanda jaman yang harus diwaspadai karena jika tanda-tanda ini sudah ada, maka itu berarti bahwa sebuah bangsa sedang menuju jurang kehancuran.  Tanda-tanda yang dimaksud adalah : (1) meningkatnya kekerasan di kalangan remaja, (2) penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk, (3) pengaruh peer-group yang kuat dalam tindak kekerasan, (4) meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alkohol dan seks bebas, (5) semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk, (6) menurunnya etos kerja, (7) semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru, (8) rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara, (9) membudayanya ketidakjujuran, dan (10) adanya rasa saling curiga dan kebencian di antara sesama. 
Dalam keseharian kesepuluh tanda-tanda kehancuran tersebut tidak sulit kita temukan; sebaliknya intensitas dan frekuensinya semakin kuat. Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di AS tahun 70 an. Bedanya di AS segera ada komitmen yang jelas untuk memperbaikinya, sementara di negeri ini masih didominasi perilaku ego dan syawat kuasa para petingginya. Belajar dari kebangkitan kejayaan AS, pendidikan karakter memang terbukti mampu menjadi pijakan utama dalam membangun kejayaan bangsa (Ryan; 2002). Pertanyaannya adalah akankah Indonesia juga mampu bangkit menggapai kejayaannya?  Pendidikan karakter yang seperti apa yang hendak dilakukan di sekolah?

b. Apa & Mengapa Karakter Penting?
Karakter berasal dari bahasa Yunani Charassein yang artinya menggoreskan pada lilin, batuan atau logam. Dari sini muncul arti bahwa karakter adalah tanda pembeda. Pengertian karakter kemudian berkembang menjadi : pola tingkah laku atau landasan moral seseorang. Heraclitos (500BC)  berkata bahwa  “Character is destiny. It shapes the destiny of a whole society”. “Character education is teaching students to know the good, love the good, and do the good.” It is cognitive, emotional, and behavioral. It integrates head, heart, and hands. It places equal importance on all three”.
Karakter yang baik mencakup tiga hal: tahu kebenaran, mencintai kebenaran dan melakukan kebenaran. Ketiganya tidak bisa dipisahkan (Ryan, 2001). Kebenaran adalah : gabungan lintas budaya tentang keinginan dan perintah moral yang mengikat kita baik sebagai individu maupun sebagai warga masyarakat. Keinginan dan perintah moral itu diantaranya adalah: Kebijaksanaan, keadilan, sifat baik dan keberanian.
Tahu kebenaran berarti mengerti tentang kebenaran dan kejelekan; Aristoteles menyebutnya dengan kearifan. Mempunyai kearifan berarti mengerti situasi yang membutuhkannya. Ini tidak sekedar pengaturan waktu tapi lebih pada penentuan prioritas dan pemilihan kebaikan dalam segala aspek kehidupan yang didalamnya termasuk kemampuan membuat komitmen yang bijaksana dan melaksanakannya.
Mencintai kebenaran berarti membangun perasaan moral dan emosi termasuk mencintai kebaikan dan mencela kejahatan dan menumbuhkan rasa empati pada orang lain. Semua ini berkenaan dengan keinginan untuk melakukan semua yang baik. Mencintai kebenaran membantu kita menghargai dan mencintai seseorang meskipun kita tahu bahwa apa yang dilakukannya salah “cintailah orang yang berdosa dan bencilah dosanya.”
Melakukan kebenaran berarti bahwa setelah melakukan pertimbangan yang mendalam terhadap segala situasi dan fakta-fakta yang berhubungan kita mempunyai keinginan untuk melakukannya. Dunia sekarang penuh dengan orang yang tahu hal-hal yang benar yang harus dilakukan tetapi dunia ini kekurangan orang-orang yang berkeinginan untuk melakukan kebaikan. Mereka tahu kebenaran tapi mereka tidak dapat membuat dirinya melakukan  kebenaran itu.
Jika suatu generasi atau suatu masyarakat tidak lagi bisa melihat mana yang baik dan mana yang buruk, tidak lagi sanggup berbuat kebaikan maka jelas ada yang salah dalam sistem pendidikannya sehingga wajar jika masyarakat itu akan hancur dengan sendirinya. Ada cara yang mudah untuk melihat karakter sesorang. Lord Macaulay’s “untuk mengukur karakter seseorang ada dua cara:
    1. Apa yang dia kerjakan tanpa sepengetahuan orang lain
    2. Apa yang dia lakukan jika dia berada dalam tekanan

Kita adalah arsitek dan seniman pembentuk karakter kita sendiri. Kita tidak dilahirkan kedunia ini dengan kebiasaan baik atau buruk. Kebiasaan buruk seperti egois, malas, tidak jujur dan tidak bertanggung jawab sangat mudah untuk diperoleh. Kita dengan mudah mendapatkannya tanpa berusaha. Tapi penguasaan kebiasaan baik membutuhkan usaha keras. William Makepeace Thackeray mengambarkan usaha keras itu dalam sajaknya:
Taburlah ide dan kau akan menuai tindakan
Taburlah tindakan dan kau akan menuai kebiasaan
Taburlah kebiasaan dan kau akan menuai karakter
Taburlah karakter dan kau akan menuai nasib

Meskipun bakat alam sangat berperan dan mewarnai dalam pembentukan karakter tetapi dedikasi dan kerja keras adalah juga faktor yang menentukan. Kita dituntut untuk terus berusaha dan berlatih tetapi usaha dan latihan saja tidak akan menjadikan kita orang yang bisa membuat karakter yang baik, kita masih dituntut untuk mempunyai pandangan terhadap standar kesempurnaan dari apa yang dia ingin capai melalui segala macam usahanya.


c. Seberapa Kuat Peran Sekolah ?
Sekolah hari ini adalah citraan masyarakat masa depan yang diidamkan oleh masyarakat (Houston, 1989). Jika tesis yang diajukan Houston tersebut dijadikan rujukan maka jelaslah bahwa jika di masa depan kita menginginkan lahirnya masyarakat yang berkarakter positif – baik maka sekolah hari ini harus dirancang menjadi salah satu pilar penting dalam menanamkan karaktar yang baik.  Dalam perspektif ini sekolah tidak terpisah dari komunitasnya yang berarti peran orang tua juga sangat signifikan dalam meneguhkan apa yang diajarkan di sekolah.
Warga sekolah adalah mahkluk sosial dan mengembangkan kehidupan mereka dalam kontek sosial. Ruang kelas dan lingkungan sekolah akan menghasilkan berbagai macam hubungan sosial seperti; hubungan antar sesama guru, hubungan antara staf dan petugas administrasi, hubungan antara siswa dengan guru, siswa dengan sopir bis dan siswa dengan pelayan cafe. Prinsip - prinsip seperti kepercayaan, keberanian, saling menghargai, kerjasama, kebersamaan atau bahkan ketidakpercayaan, ketakutan, kekuatan, manipulasi dan persaingan yang tidak sehat memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam pembentukan karakter siswa di sekolah.
  Celakanya, kadang prinsip - prinsip yang mengatur pembentukan karakter di sekolah tidak ada dalam diri siswa. Siswa dapat dengan mudah dan cepat mempraktekkan nilai - nilai yang mereka peroleh dari lingkungan sekolah dan membentuk perilaku mereka. Contohnya ketrampilan mempertahankan diri justru akan terbentuk dimana siswa yang lebih tua mengganggu siswa yang lebih muda. Manipulasi dan mencontek benar benar dijunjung tinggi dan menjadi perilaku biasa (membudaya) ketika nilai siswa akan dihargai diatas segala galanya. Ketika kelulusan UN dianggap paling penting atas segalanya, maka kebiasaan hidup mencapai tujuan dengan menghalalkan segala cara merupakan hidden curricullum yang diinternalisasi dalam kepribadian siswa dan gurunya.  Tidak ada yang bisa diharapkan dalam kondisi tersebut kecuali sekolah tersebut akan kehilangan karakter. Di dalam komunitas sekolah, disamping siswa belajar bagaimana menjadi orang yang bermoral kuat, mereka juga bisa belajar bagaimana memanipulasi sistem, bagaimana hidup dibawah tekanan, bagaimana mengungkapkan keluarga mereka atau bahkan apapun mengenai diri mereka sendiri.
           

d.Mengapa Sekolah menjadi Sumber Karakter Negatif
1.Ketiadaan sharing Visi dan Tujuan
          Ketika visi dan tujuan tidak ditanamkan di sekolah, maka prinsip prinsip yang ada di sekolah untuk membentuk karekater yang ideal hanyalah berupa mantra saja. Ketika saling menghargai sesama sudah tidak lagi menjadi budaya, ketika mencontek sudah menjadi pembiasaan maka tujuan untuk mencapai sekolah yang berkarakter ideal sulit tercapai. Maka penularan visi dan tujuan sekolah, baik itu di dalam proses pengajaran di kelas maupun di luar kelas agar diketahui oleh semua warga sekolah menjadi sangat penting. Visi misi sekolah bukanlah jargon kosong yang hanya jadi pajangan dinding gedung sekolah, tapi lebih dari itu ia adalah mantra yang harus dilafalkan dalam setiap tarikan nafas seluruh warga sekolah.

2.Persaingan tidak Sehat
          Persaingan yang tidak sehat akan dapat memperlemah terbentuknya karakter di sekolah. Ketika siswa terbiasa melihat teman-temannya yang malas tapi nilai ulangannya selalu bagus karena ikut les privat pada guru bidang studinya. Ketika siswa sering melihat gurunya sering adu mulut atau saling menyindir saat mengajar, atau guru yang saling berlomba pamer kekayaan lewat penampilan di sekolah, pada saat itu siswa belajar karakter negatif.  Ketika kemenangan adalah sebuah keharusan dan kekalahan adalah sesuatu yang memalukan maka hal ini akan memperlemah tujuan. Siswa dituntut untuk selalu menang dalam setiap pertandingan dan dilatih agar memiliki sifat egois arogan daripada bekerjasama dan saling menghargai. Pembentukan karakter di sekolah mengenalkan siswa kepada perbaikan diri, comitmen, dan sportif tidak hanya sekedar sukses dan menang.

3.Ketiadaan Kesempatan untuk Berbagi
          Ketika siswa tidak dilibatkan dalam acara kebersihan sekolah atau tidak diberi kepercayaan untuk mamantau adik kelas mereka dan ketika guru menerima tugas yang dikerjakan dengan cepat tanpa berpikir dari siswa lalu munculah pernyataan bahwa sekolah adalah tempat yang tepat bagimu tapi tidak membutuhkan tanggung jawabmu. Ketika siswa tidak diberi kesempatan untuk berperan dalam aktifitas sekolah maka sesungguhnya mereka telah kehilangan kesempatan untuk mengembangkan tanggung jawab dan kedermawanan mereka. Dalam komunitas yang bermoral, berbagi adalah cara yang sederhana untuk menjadikan hidup lebih berarti.  

4.Ketiadaan Tradisi Membudayakan Kebiasaan Baik.
          Pembiasaan adalah tulang punggung dari semangat sekolah untuk menyukai hal hal yang baik. Sekolah tanpa tradisi ibarat komunitas tanpa hati, tanpa semangat kekeluargaan, tanpa penghargaan terhadap sejarah. Sekolah harus membiasakan kepada warga sekolah terhadap kebiasaan baik yang nantinya akan membentuk karakter yang ideal. Mengucap salam, menegur dengan santun, menengok teman yang sakit, membantu pihak yang mengalami kesulitan yang kesemua itu dilakukan tanpa pamrih tanpa membedakan ras dan agama apalagi status sosial. Menghargai usaha orang lain mengapresiasi kesungguhan, kesetiaan dan komitmen merupakan serangkaian kebiasan berbvuat baik yang harusnya menjadi budaya sekolah.

5.Ketiadaan Aspirasi Siswa
Sangat ironis ketika sekolah mengatakan bahwa lingkungan sekolah adalah lingkungan yang demokratis tetapi aspirasi siswa terpasung. Ketika hal ini terjadi maka kesempatan siswa untuk berdialog, menilai, mengembangkan kemampuan dirinya menjadi terbatas. Karena pada prinsipnya sesungguhnya siswa sedang belajar untuk berpartisispasi dalam masyarakat dan juga belajar untuk menjadi warga negara yang demokratis.

6.Ketidakpedulian terhadap Kebersihan Sekolah
Di banyak sekolah ”kaya” masalah kebersihan sekolah sudah dilimpahkan kepada cleaning service, dan siswa hanya fokus belajar saja! Keadaan ini juga memiliki kelemahan, karena ada sebagian wahana belajar karakter yang hilang karena sudah dibereskan oleh cleaning service. Idealnya sekolah masih menyisakan bagian tertentu yang bisa dijadikan ajang dan media pembentukan karakter. Dalam pembentukan karakter di sekolah, siswa dilibatkan untuk berpartisipasi dalam menjaga kebersihan sekolah. Ketika halaman sekolah penuh dengan bungkus permen, kertas bekas dan plastik bisanya mengharapkan orang lain untuk membersihkannya. Ketika siswa tak lagi peka dan terusik ketika mendapati ruang kelasnya berantakan kursi meja berdebu dan tatanannya semrawut itu artinya siswa sekolah itu sudah mati rasa! .


f.Masyarakat Yang Hipokrit!
Pendidikan karakter butuh kerjasama yang kuat antara sekolah dengan orang tua. Sebab apa yang diajarkan di sekolah dengan segala keterbatasan waktu idealnya ditindaklanjuti atau dikuatkan oleh orang tua siswa dalam keluarga masing-masing. Seperti dijelaskan di depan pendidikan karakter butuh kondisioning, keteladanan dan pembiasaan yang dilandasi komitmen dan konsistensi dari mereka yang lebih dewasa (baca: guru, orang tua dan masyarakat).
Celakanya, sekolah sekolah hari ini tumbuh dalam lingkungan masyarakat yang hipokrit yakni masyarakat yang pintar omong kebaikan, pandai kothbah kabajikan dan moral tapi minus dalam keteladanan. Masyarakat yang lebih menghargai hasil instant ketimbang proses yang lebih bisa dipertanggungjawabkan secara moral. Sekolah hari ini harus berhadapan dengan fenomena masyarakat yang opportunis, hedonis dan kurang menghargai nilai-nilai keutamaan sebalinnba lebih menghargai nilai kepemilikan  kebendaan. Sekolah tidak terkecuali RSBI kini harus menghadapi masyarakat yang kacau dalam tatanan nilai moral dan tatanan sosialnya, inilah fenomena social disorder yang potensial menimbulkan chaos di setiap kesempatan.  Masyarakat kita hari ini sibuk dalam ritual agama tapi minus dalam kebajikan dan kesalehan sosial. Bahkan kini muncul fenomena ”Emprit Grandhil” yang suka menitipkan anaknya pada burung lain untuk dierami hingga menetas dan setelah menetas diakui sebagai anaknya, itupun dengan syarat harus jadi orang sukses!
  Sekolah hari ini lantas punya tugas bukan hanya mendidik siswa tapi juga mengedukasi keluarga siswa lewat pola-pola kerjasama yang hangat dan tidak menggurui.  Sekolah harus melibatkan orang tua karena anak menghabiskan waktu di sekolah tidak sebanyak mereka di rumah. Sehingga jika dalam pembentukan karakter hanya diserahkan kepada sekolah saja, pastilah usaha ini tidak akan mencapai hasil yang maksimal.
Ada tiga tahapan penting dalam pendidikan karakter yang operasionalnya membutuhkan kerjasama yang solid antara tiga level kelembagaan yakni keluarga (mikro), sekolah dan pranata sosial lainnya (mezo) dan negara-pemerintah (makro). Di rumah atau keluarga pendidikan karakter dimulai dengan proses inisiasi nilai dan sistem kepercayaan. Orang tua harus secara jelas berani menginisiasi nilai-nilai keutamaan apa yang harus menjadi pedoman hidup anak-anak dan seluruh anggota keluarga. Tahap berikutnya adalah proses klarifikasi nilai yakni tahap dimana ketika anak masuk dalam pergaulan sosial yang lebih luas dan menyerap nilai-nilai baru dalam kehidupannya maka adalah kewajiban orang tua untuk melakukan klarifikasi  nilai-nilai mana yang sesuai dengan nilai-nilai keutamaan hidup yang diajarkan dalam keluarga dan mana nilai-nilai yang tidak sesuai. Pada tahap ini orang tua harus jelas dan tegas menunjukkan kepada anak nilai-nilai keutamaan apa yang harus mereka pegang teguh. Tahap terakhir adalah fasilitasi dan pembiasaan, bahwa perubahan perilaku dan penguasaan nilai-nilai keutamaan itu harus dipelihara dan dibiasakan sampai akhirnya menjadi proses internalisai yang menyatu dalam setiap nafas kehidupan indiidu tersebut.
Paparan idiatas menegaskan bahwa basis pembentukan pendidikan karakter adalah keluarga yang kemudian dilanjutkan di sekolah dan dimodelkan dalam keteladanan dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karenanya relasi keluarga, sekolah dan masyarakat harus merupakan satu garis kontinum yang konsisten dan koheren. Sukses atau gagalnya pendidikan karakter sejatinya sangat ditentukan oleh komitmen dan kosistensi orang tua untuk mampu tampil sebagai teladan  atau model atas nilai-nilai keutamaan yang diajarkan kepada anaknya. Jika orangtua tidak mampu sebagai teladan, para tokoh agama gagal menjadi tauladan, para politisi menjadi calo anggaran, para pejabat negara sibuk membangun citra politik yang narsistik, lantas mau dibawa kemana pendidikan karakter anak-anak kita. Sekolah bukan satu-satunya terdakwa atas gagalnya pendidikan generasi muda.

g.Penutup

 Pendidikan karakter tidak bisa hanya diajarkan secara formal! Pendidikan karakter butuh dicontohkan dalam keteladanan perilaku sehari-hari. Contoh yang nyata seperti yang dilakukan oleh presiden Uruguay saat rakyatnya yang menjadi buruh tambang terjebak di bawah tanah adalah contoh pendidikan karakter yang baik. Sebastian Pinera (Presiden Uruguay) akhirnya membatalkan kunjungan ke sejumlah negara yang sudah dijadwalkan  dan memilih bergabung dengan tim penyelamatan buruh tambang untuk bisa secara langsung mengomandani drama romantik penyelamatan buruh tambang yang terjebak di kedalaman 700 meter. Perdana Menteri Jepang Hatoyama memilih mundur dari kursi perdana menteri Jepang ketika ia menemukan gambaran riil bahwa janiji politik yang diucapkan selama kampanye sepertinya tidak mungkin bisa dicapai.
Dua orang tokoh dunia itu memberikan keteladanan dengan perbuatan tidak dengan omongan! Hal semacam inilah yang tidak dimiliki negeri ini sehingga janganlah membebani sekolah dan siswa dengan muatan-muatan kurikulum baru yang menambah beban. Pendidikan karakter bisa disajikan dalam format Hidden curricullum dan Null curricullum atau lewat kegiatan apapun karena yang penting adalah keteladanan dari orang dewasa dengan segala posisi, pangkat dan jabatannnya. Tanpa ada keteladanan yang terjadi justru lahirnya generasi baru yang lebih kejam dari generasi sebelumnya lantaran mereka rentan mengidap split personality sebagai konsekuensi pengasuhan yang hipokrit! .





[1] Naskah disajikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Karakter; Balitbang Kemendiknas – Komisi X DPR RI  September 2010



[i]Lickona, T.  1992. Educating for Character, How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility.  New York: Bantam Books, Inc.
Giruox, 2003. Postmodern Education. Penguin Bokks Inc.
Ryan. 2002. Building Character In the School. Penguin Books, Inc
Linda & Eyre, Richard, Teaching Your Children Values, NY, Simon & Schuster, 1998
Lockwood, AT, Character Education, Thousand Oak CA, Corwin Press, 1998



Tidak ada komentar:

Posting Komentar